Tidur adalah kebutuhan manusia paling pokok yang merupakan sebuah proses fundamental. Tidur didefinisikan sebagai kondisi pelepasan perseptual dari lingkungan yang bersifat sementara dan dapat berulang.
Rata-rata orang meluangkan 6 hingga 8 jam per hari untuk tidur, meski ada juga yang tidur hingga 10 jam per hari atau justru cukup 4 jam per hari. Berarti kita meluangkan hampir sepertiga hari, atau sepertiga hidup, kita untuk tidur, kendati banyak dari kita tidak pernah memikirkan hal tersebut.
Lumba-lumba sebagai mamalia yang cerdas dapat mengistirahatkan separuh otaknya dan mengaktifkan separuh lainnya saat berenang dan mengawasi sekeliling.
Singa tidur sekitar 12 jam per hari, dan mereka dapat melakukan itu karena posisinya yang berada di puncak rantai makanan. Gajah hanya tidur 4 jam per hari, yang mereka lakukan dengan posisi berdiri tegak. Beberapa orang mungkin dapat melakukan hal serupa, tapi kebanyakan orang pasti kesulitan untuk tidur terbalik seperti kelelawar selama 3 bulan sepanjang musim dingin.
Tidur adalah proses aktif.
Kebanyakan kita menganggap tidur sebagai kejadian pasif: kita menutup mata dan semua fungsi jasmaniah kita berhenti.
Tidak seperti keyakinan umum, tidur adalah proses aktif yang melibatkan interaksi kompleks dengan fungsi metabolisme dan aktivitas dalam otak yang tinggi. Tidur terbagi ke dalam 2 fase utama: dream sleep atau tidur lelap (rapid eye movement / REM) dan non-dream sleep atau tidur tidak lelap (non-REM). Dream sleep disebut juga slow-wave sleep (SWS) karena gelombang-gelombang otak melambat hingga mencapai pola yang sangat lambat dan terkoordinasi.
Rata-rata, dream sleep atau tidur lelap meliputi sekitar 25% hingga 30% dari seluruh tidur orang dewasa. Pada anak-anak, dream sleep bisa mencapai 50% dari seluruh tidur malamnya. Penelitian mengenai aktivitas metabolisme otak selama fase tidur dan terjaga menunjukkan bahwa selama fase dream sleep aktivitas metabolisme pada sebagian besar otak meningkat dibandingkan pada fase non-dream sleep atau bahkan fase terjaga.
Mayoritas pakar meyakini bahwa dream sleep sangat penting bagi manusia. Sudah diterima secara luas bahwa dream sleep penting bagi kesehatan, penyegaran ulang memori, peremajaan dan kesiagaan mental. Karenanya, dream sleep vital bagi pikiran dan jasmani manusia. Ada beberapa obat yang bersifat penunjang non-dream sleep dan penggunanya akan cenderung merasa amat lelah dan letargi keesokan harinya. Biasanya mereka menganggap kondisi itu sebagai efek samping obat tersebut. Sebenarnya, kondisi itu adalah akibat kurangnya dream sleep pada malam sebelumnya.
Dream sleep ditandai dengan otak yang sangat aktif sementara badan “lumpuh”. Ini kesempurnaan anugerah Tuhan agar kita tidak memeragakan mimpi (misalnya jika bermimpi bermain bola, kita tidak menendang dan memeragakannya di tempat tidur, yang akan membahayakan teman tidur).
Tapi ini tidak terjadi pada pasien dengan saluran udara yang sempit, karena saluran udara yang sudah sempit itu akan kehilangan ketegangannya selama tidur lelap dan akhirnya kolaps, sehingga saluran udara bagian atas tersumbat, napas terhenti dan masukan oksigen berkurang. Akibatnya, terbentuklah tekanan pada jantung, otak dan organ tubuh lainnya.
Mendengkur dapat didefinisikan sebagai bernapas dengan bersuara selama tidur.
Ternyata mendengkur bukanlah merupakan masalah yang sepele, mendengkur bagi banyak orang diartikan karna tidur yang lelap dan nyenyak padahal tidur mendengkur bisa mengidentifikasikan bahwa si pendengkur memiliki gangguan kesehatan yang pada umumnya adalah penyempitan saluran nafas. Saluran yang menyempit itu apabila dilalui oleh udara akan menimbulkan suara. Sehingga terciptalah suara yang tidak merdu itu.
Bunyi ini ditimbulkan oleh getaran langit-langit lunak (soft palate), uvula, pangkal lidah dan jaringan-jaringan lembut lainnya di tenggorokan saat seseorang menarik napas. Dengkur menunjukkan meningkatnya resistansi aliran udara masuk selama bernapas pada saluran udara bagian atas. Sebanyak 50% hingga 60% populasi laki-laki dewasa, usia antara 30 – 60 tahun, mendengkur.
Mendengkur adalah gangguan sosial. Tetapi gangguan ini dapat menjadi masalah potensial terutama jika mengganggu teman tidur. Mendengkur dapat berujung pada masalah perkawinan, perasaan jengkel dan marah di rumah.
Jika pasien yang mendengkur merasakan gejala kelelahan, kurang konsentrasi, mengantuk pada siang hari, rasa tercekik pada malam hari, berarti dia mengalami masalah medis berat yang disebut Apnea Tidur Obstruktif (OSA, Obstructive Sleep Apnoea).
LANDASAN TEORI
Tidur adalah kebutuhan manusia paling pokok yang merupakan sebuah proses fundamental. Tidur didefinisikan sebagai kondisi pelepasan perseptual dari lingkungan yang bersifat sementara dan dapat berulang.
Rata-rata orang meluangkan 6 hingga 8 jam per hari untuk tidur, meski ada juga yang tidur hingga 10 jam per hari atau justru cukup 4 jam per hari. Berarti kita meluangkan hampir sepertiga hari, atau sepertiga hidup, kita untuk tidur, kendati banyak dari kita tidak pernah memikirkan hal tersebut.
Pengertian
Apnea tidur obstruktif merupakan kelainan tidur yang paling umum. Dampaknya terlihat pada tidur yang terganggu, sering terjaga dan kualitas tidur yang rendah. Kondisi ini serupa dengan yang dalam patofisiologi disebut, dan yang sering kita dengar sehari-hari sebagai, kurang tidur. Saat siang hari, pasien merasa mengantuk berlebihan, konsentrasi rendah, daya ingat turun dan mudah marah. Dalam jangka panjang kondisi ini memiliki konsekuensi medis seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke dan kematian mendadak selagi tertidur.
Obstructive Sleep Apnea (henti nafas saat tidur) adalah gangguan tidur yang ditandai dengan tidur mendengkur (ngorok) dan rasa kantuk berlebih. Dengan penanganan yang tepat, OSA dapat diatasi.
Henti nafas terjadi sebagai akibat dari menyempitnya jalan nafas atas saat tidur. Akibatnya, kadar oksigen dalam darah menurun dan akan memicu otak untuk terbangun sejenak (micro arousal) tanpa terjaga. Ini akan memotong proses tidur sehingga kualitas tidur menjadi buruk. Tak heran jika penderitanya cenderung mengantuk di siang hari.
Sejarah
Konon, pada 1956 ada sebuah kisah menarik yang dibahas oleh dokter bernama CS Burwell bersama rekan-rekannya. Dikisahkan ada seorang businessman berusia 51 tahun. Tubuhnya gemuk dengan berat badan 140 kg dan tinggi badan 150 cm. Suatu saat ketika sedang bermain poker, ia mempunyai 3 kartu As dan 2 kartu King di tangannya. Siapa pun tahu, kartu itu adalah kartu kemenangan. Tak disangka, ia kalah. Dan penyebabnya, ia mengantuk! Terlepas dari kebenarannya, dr Burwell menuangkan kisah itu dalam sebuah artikel berjudul “Extreme Obesity Associated with Alveolar Hypoventilation: A Pickwickian Syndrome”.
Istilah “Pickwickian” merujuk kepada “The Pickwick Papers”, sebuah novel hasil karya Charles Dickens, penulis terkenal itu. Pada 1837, Charles Dickens menulis cerita bersambung mengenai Pickwick Club. Kumpulan cerita bersambung itu kemudian dijadikan sebuah novel berjudul “The Pickwick Papers”. Dalam cerita bersambung itu, Charles Dickens memperkenalkan seorang tokoh bernama Joe. Perawakan Joe digambarkan sebagai seseorang yang gemuk dan hampir selalu mengantuk baik saat menghadiri rapat maupun saat melakukan pekerjaan sederhana seperti mengetuk pintu. Terlebih lagi, ia mempunyai kebiasaan buruk yakni sering mengganggu rapat dengan dengkurannya yang keras.
Karakteristik Joe itulah yang menginspirasi lahirnya istilah pickwickian syndrome, yang di kemudian hari diubah menjadi obstructive sleep apnea (OSA) karena dianggap lebih tepat.
OSA merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai, selain merokok. Sama halnya dengan merokok, OSA tidak hanya memberi dampak negatif bagi penderitanya tetapi juga orang lain, dalam hal ini pasangan tidurnya. Dengan dengkuran suara yang keras, tak jarang pasangan tidur merasa terganggu sehingga tidak bisa tidur lelap. Sekilas, masalah ini sepele. Faktanya, hubungan pernikahan bisa retak.
Young dkk dalam Sleep 1997 memperkirakan sebanyak 82% pria dan 93% wanita dengan OSA sedang dan berat tidak terdeteksi. Salah satu penyebab tingginya kasus underdiagnosis/misdiagnosis OSA adalah kurangnya pengenalan para klinisi terhadap OSA. Tidak bisa dipungkiri, sleep medicine kurang banyak diajarkan di bangku kuliah. Celakanya, diperkirakan biaya yang keluar akibat kasus underdiagnosis/misdiagnosis OSA menelan US$ 3,4 milyar per tahun. Belum lagi biaya lain seperti hilangnya waktu produktivitas, kecelakaan, dan lain-lain.
Ada sedikit perbedaan antara sleep apnea dan hypopnea. Dikatakan apnea bila terjadi obstruksi total, sedangkan hipopnea bila obstruksi parsial saluran nafas.
Klasifikasi
Ilmu yang mempelajari tentang tidur, sleep medicine, bisa dikatakan masih menjadi lahan baru di dalam dunia kedokteran. Keinginan untuk membuat klasifikasi gangguan tidur pertama kali diwacanakan dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Association for the Psychophysiological Study of Sleep pada tahun 1972. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklah Nosology Committee pada tahun 1976.
Tiga tahun berselang (1979), terbitlah klasifikasi gangguan tidur untuk pertama kalinya, yang dikenal dengan The Diagnostic Classification of Sleep and Arousal Disorders setebal 137 halaman. Klasifikasi itu dipublikasikan dalam jurnal Sleep, yang saat itu juga baru dibentuk.
Merasa kurang puas dengan klasifikasi yang sudah ada, American Sleep Disorders Association bekerja sama dengan European Sleep Research Society, Japanese Society of Sleep Research dan Latin American Sleep Society menyusun klasifikasi baru yaitu International Classification of Sleep Disorders (ICSD) pada 1990. Dalam ICSD, gangguan tidur dibagi menjadi 84 jenis berdasarkan patofisiologi.
Lagi, American Academy of Sleep Medicine mengadakan sebuah komite bersama untuk merevisi kembali ICSD pada 2002. Akhirnya, tersusunlah ICSD-2. Dalam ICSD-2, gangguan tidur disusutkan menjadi 8 kategori berdasarkan konsep klinis. OSAHS masuk dalam kategori 2. Berikut klasifikasi kelainan tidur berdasarkan ICSD-2:
1. Insomnia
2. Sleep related breathing disorders
3. Hypersomnias of central origin not due to a circadian rhythm, sleep disorder, sleep related breathing disorder, or other cause of disturbed nocturnal sleep
4. Circadian rhythm sleep disorders
5. Parasomnias
6. Sleep related movement disorders
7. Isolated symptoms, apparently normal variants, and unresolved issues Other sleep disorders
8. Patogenesis
Otot saluran nafas atas memegang peran penting dalam patogenesis OSA. Otot saluran nafas atas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu otot yang menyangga tulang hyoid (geniohyoid, sternohyoid), otot lidah (genioglossus), dan otot pada palatum (tensor palatini, levator palatini).
Berdasarkan prinsip kerja, otot-otot tersebut dikelompokkan menjadi otot fasik dan otot tonik. Otot fasik bekerja saat inspirasi dan istirahat saat ekspirasi. Sebaliknya, otot tonik tidak mempunyai siklus seperti itu. Kerja otot tonik tetap konstan sepanjang respirasi.
Salah satu contoh otot fasik yang paling banyak dipelajari adalah genioglossus. Saat inspirasi, tekanan intralumen menjadi negatif guna menyedot udara dari luar ke dalam paru. Tekanan negatif cenderung menyebabkan kolaps otot-otot saluran nafas atas. Di sisi lain, tekanan negatif pula yang mengaktivasi otot fasik (genioglossus) untuk melawan kolaps sehingga jalan nafas tetap terbuka. Ketika ekspirasi, otot fasik tidak teraktivasi.
Mekanisme kerja otot genioglossus dipengaruhi oleh 3 input saraf. Pertama, refleks mekanoreseptor. Tekanan negatif pada saluran nafas mengaktivasi mekanoreseptor yang terletak pada laring. Kemudian, menghantarkan rangsang aferen ke saraf laringeal superior. Selanjutnya, diteruskan ke motorneuron hipoglossus sehingga otot genioglossus berkontraksi membuka jalan nafas.
Kedua, pusat pernafasan (central respiratory pattern generator) di medula. Pusat pernafasan teraktivasi lebih dahulu yakni sekitar 50-100 milidetik sebelum diafragma berkontraksi.
Terakhir, rangsangan neuromodulator (serotonin, asetilkolin, orexin, histamin, norepinefrin) yang mempunyai efek tonik pada motorneuron hipoglossus.
Ketiga mekanisme itu hanya teraktivasi saat keadaan terbangun (wakefullness stimulus). Saat tidur, mekanisme itu mengalami perubahan. Refleks tekanan negatif, misalnya, mengalami penurunan aktivasi selama fase non-REM dan REM, namun tidak mati total. Akibatnya, otot faring mudah kolaps. Pada seseorang yang mengalami OSA, lumen saluran nafas lebih sempit daripada orang normal. Lumen yang sempit mengakibatkan tekanan negatif yang lebih besar sehingga diperlukan tenaga yang lebih besar lagi untuk melawan efek kolaps akibat tekanan negatif itu. Sayangnya ketika pasien OSA tidur, upaya kontraksi genioglossus tidak cukup melawan tekanan negatif itu.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama dari OSA adalah mendengkur. Dalam populasi umum, kebiasaan mendengkur dijumpai pada 35-45% pria dan 15-28% wanita. Akan tetapi, tidak semua dari mereka yang mempunyai kebiasaan mendengkur menderita OSA. Sebanyak 70-95% penderita OSA mempunyai kebiasaan mendengkur dan hanya 6% yang tidak. Jadi, bisa disimpulkan bahwa individu yang tidak mendengkur besar kemungkinan tidak menderita OSA.
Gejala lain adalah rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari (excessive daytime sleepiness). Keluhan ini perlu dibedakan antara rasa mengantuk yang ’benar’ (keinginan segera untuk tidur) dengan rasa lelah (letargi/malaise). Perlu juga dipikirkan apakah ada obat-obat yang menyebabkan kantuk dan apakah pasien sedang melakukan kerja shift. Dengan menggunakan kuesioner yang sudah tervalidasi, Gottlieb dkk melalui penelitiannya bertajuk Sleep Heart Health Study melaporkan bahwa sebanyak 35% subyek dengan OSA berat (indeks apnea-hipoapnea/IAH ≥30) mengeluh rasa kantuk; begitu juga dengan 21% subyek yang tidak terdiagnosis OSA (IAH 48 cm risiko tinggi.
Dibandingkan wanita, pria lebih berisiko tinggi mengalami OSA. Alasannya masih belum jelas. Hal itu mungkin berhubungan dengan pengaruh hormonal. Teori itu didukung dengan penemuan bahwa wanita postmenopause lebih berisiko mengalami OSA daripada premenopause. Pemberian hormon replacement therapy ternyata bisa memperbaiki gejala OSA.
Usia juga dikatakan turut mempengaruhi OSA. Prevalensi OSA lebih tinggi pada usia tua daripada usia muda.
Faktor keturunan (famili) pada OSA pertama kali disinggung oleh Strohl dkk dalam N Engl J Med 1978. Berbagai studi skala besar mengkonfirmasi adanya faktor genetik pada OSA. Redline dkk dalam Am J Respir Crit Care Med 1995 memaparkan, keturunan pertama dari pasien OSA lebih berisiko mengalami OSA di kemudian hari daripada keturunan pertama dari pasien sehat. Analisis segregasi pada Cleveland Family Study 2002 menunjukkan bahwa 35% dari variasi gejala klinis OSA berkaitan dengan faktor genetik. Mulai terkuaknya pengaruh genetik pada OSA tentu memberi kabar baik dan perlu dikaji lebih lanjut agar dapat dilakukan pencegahan lebih dini.
Resiko OSA juga dapat dipicu dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol. Asap rokok memicu inflamasi dan kerusakan mekanik dan saraf pada saluran nafas atas, serta meningkatkan risiko kolaps otot-otot faring selama tidur. Kebiasaan minum alkohol terbukti pula memicu terjadinya apneu pada individu normal atau asimtomatik. Alkohol memperpanjang durasi apnea dan memperberat hipoksemia. Mekanisme alkohol dalam memicu atau memperburuk kolaps otot faring belum diketahui. Percobaan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa alkohol mengurangi respiratory motor output pada saluran nafas atas, dan mengakibatkan hipotonia pada otot orofaring.
Pemeriksaan
Tahapan pertama adalah dengan membicarakan masalah Anda dengan dokter, untuk mengetahui kemungkinan gangguan tidur yang diderita.
Jika perlu, Anda harus melakukan pemeriksaan Polisomnografi di laboratorium tidur.
Alternatif lain dari polisomnografi adalah dengan apnea screening yang lebih murah namun jauh kurang lengkap sehingga pada beberapa kasus akhirnya pasien harus diperiksakan lagi dengan polisomnografi lengkap.
Perawatan
Standar internasional perawatan OSA adalah dengan menggunakan nasal continuous possitive airway pressure (CPAP.) Prinsip kerjanya adalah meniupkan udara bertekanan positif untuk membuka penyempitan jalan nafas.
Penggunaannya amatlah mudah. Namun demikian penderita harus melewati tahap tertentu yang bernama CPAP trial. Tahapan ini amat penting untuk mengetahui besarnya tekanan yang diperlukan, sebaran tekanan dan juga kenyamanan pemakaian. Yang paling penting adalah evaluasi mengenai seberapa jauh keluhan pasien berkurang.
Alternatif lain adalah dengan jalan pembedahan ataupun penggunaan alat bantu yang dikenakan di dalam mulut.
Dengan berkembangnya teknologi kedokteran, beberapa prosedur THT pun dapat dilakukan pada penderita OSA. Salah satu yang termuktahir adalah dengan celon radio-frequency yang amat aman dan nyaman. Kebanyakan prosedur ini bahkan dapat dilakukan satu hari tanpa perlu rawat inap.
Semua tahapan terapi dapat dilakukan di bawah satu atap. Bahkan beberapa pasien yang memerlukan kombinasi antara tindakan THT dan penggunaan CPAP dapat dengan nyaman melakukannya di klinik gangguan tidur.
1. 5. Resiko OSA bagi Kesehatan
a) Satu dari tiga penderita hipertensi juga menderita OSA dan 80% penderita hipertensi yang resisten terhadap pengobatan juga menderita OSA.
b) Setengah dari jumlah penderita payah jantung kongestif juga menderita OSA.
c) Penderita OSA mempunyai resiko 7 kali lebih banyak untuk terserang stroke.
d) Penderita OSA juga mempunyai resiko 7 kali lipat untuk mengalami kecelakaan lalu lintas.
e) 60%-70% pasien Diabetes tipe 2 juga menderita OSA.
Akibat
Karena proses tidur yang terpotong-potong, penderita sleep apnea akan selalu berada dalam kondisi kurang tidur, walaupun sebenarnya telah tidur cukup lama. Mereka akan merasa lelah, mudah emosi, sulit berkonsentrasi dan mengantuk. Bayangkan saja bagaimana rasanya jika kita tadi malam hanya tidur 2 jam. Persis seperti itulah yang dirasakan penderita sleep apnea. Hanya saja, kita mengalaminya setelah kurang tidur, sedangkan pendengkur akan merasakannya setiap hari. Tentu saja kondisi ini akan mengurangi kualitas hidup dan produktivitas sehari-hari. Khusus bagi yang setiap hari mengendara dan mengoperasikan alat-alat berat, kondisi ini akan menjadi amat berbahaya. Bukan saja karena kantuk, tetapi justru karena kemampuan refleks yang berkurang.
Namun, bahaya sesungguhnya dari sleep apnea adalah penyakit-penyakit lanjutannya. Sleep apnea sudah diakui menjadi salah satu penyebab hipertensi, gangguan jantung, diabetes dan stroke. Hingga tak heran jika di negara-negara maju, tata laksana penyakit-penyakit itu sudah memasukkan pemeriksaan dan perawatan sleep apnea.
Hipertensi misalnya, sejak tahun 2003, Joint National Committe on Hypertension mengeluarkan dokumen petunjuk tata laksana hipertensi yang dikenal dengan JNC VII. Dalam kartu tersebut terdapat bagan perawatan hipertensi, dan penyebab hipertensi yang pertama adalah sleep apnea. Jangan heran nanti jika Anda didiagnosa dengan hipertensi, dokter juga akan menanyakan tentang kebiasaan mendengkur. Sementara sejak Februari 2008, International Diabetes Federation sudah menganjurkan agak penderita diabetes turut ditanyakan tentang kebiasaan mendengkur.
Hubungan antara sleep apnea dan penyakit-penyakit tersebut, berkaitan dengan episode bangun singkat yang terjadi sepanjang malam. Akibat dari proses tidur yang terpotong-potong, sistem saraf simpatis turut tinggi aktivitasnya sehingga meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan menyebabkan gangguan metabolisme berupa meningkatnya kadar gula dan kekentalan darah.
OSA dan Kualitas Hidup
Penderita OSA selalu berada dalam kondisi kurang tidur walaupun sebenarnya telah tidur cukup lama. Ini disebabkan proses tidur yang terpotong-potong akibat periode henti nafas singkat yang terjadi setiap kali nafas terhenti.
Jika seseorang menderita OSA, ia akan mempunyai resiko mengalami kecelakaan kerja maupun lalu lintas dua kali lipat lebih besar. Sebuah penelitian lainnya bahkan menyatakan bahwa OSA dianggap sebagai salah satu kriteria seseorang tidak mampu bekerja. Tidak jarang penderita OSA tidak berani lagi mengendara akibat dianggap punya hobi ‘nabrak’.
Penderita OSA sering kali harus berusaha keras agar tetap terjaga di saat bekerja. Banyak juga penderita OSA dicap sebagai pemalas akibat rasa kantuk berlebih yang menderanya.
OSA dan Diabetes
OSA berhubungan dengan glucose intolerance dan insulin resistance, sehingga dianggap turut berperan mengembangkan diabetes. Berkurangnya kadar oksigen dan periode bangun singkat (micro arousal) akibat sleep apnea turut menjembatani terjadinya gangguan metabolisme.
Sebuah penelitian oleh Resnick dan kawan-kawan di tahun 2003 menyatakan bahwa 58% dari penderita diabetes tipe dua juga menderita OSA.
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa dengan penggunaan CPAP pada penderita OSA yang juga menderita diabetes akan mengakibatkan perbaikan sensitivitas terhadap insulin dan penurunan kadar gula darah secara berarti.
OSA, Hipertensi dan Penyakit Kardiovaskuler
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hipertensi berkaitan erat secara independen dengan OSA. Periode bangun singkat (micro arousal) akan meningkatkan sistem syaraf simpatis yang pada gilirannya akan meningkatkan tekanan darah. OSA juga menyebabkan jantung harus bekerja berat pada suasana rendah oksigen di saat tidur. Akibatnya penderita OSA juga rentan menderita berbagai gangguan jantung.
Lebih dari 35% penderita OSA juga menderita hipertensi. 83% penderita hipertensi juga menderita OSA.
80% pasien dengan hipertensi yang resisten terhadap pengobatan juga menderita OSA.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa OSA meningkatkan resiko seseorang menderita penyakit kardiovaskuler hingga lima kali lipat, terlepas dari usia, kegemukan, kebiasaan merokok maupun tekanan darahnya.
Dua penelitian berbeda dilakukan pada pasien OSA yang juga menderita hipertensi. Dengan menggunakan CPAP terdapat rata-rata penurunan tekanan darah sebesar 10 mmHg. Sementara Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure di tahun 2003 menyebutkan OSA sebagai penyebab hipertensi yang utama.
OSA dan Stroke
Berbagai penelitian kini mengemukakan hubungan antara OSA dan stroke. Sebuah penelitian oleh Bassetti dan kawan-kawan menyatakan bahwa pendengkur mempunyai resiko dua kali lipat untuk terkena stroke dibanding yang tidak mendengkur.
OSA menyebabkan peningkatan resiko seseorang untuk menderita stroke lewat beberapa mekanisme, antara lain: hipertensi, disfungsi endotel, inflamasi dan aterosklerosis, hiperkoagulasi, aterogenesis dan trombosis.
Penderita stroke yang juga menderita OSA, mengalami kesulitan dalam proses pemulihan paska stroke. Dengan rasa kantuk berlebih yang disebabkan oleh OSA, penderita stroke seolah tak bertenaga dan tak mempunyai motivasi untuk melakukan latihan-latihan fisioterapi yang dibutuhkan demi pemulihan fungsi-fungsi ototnya.
OSA dan Sosial Ekonomi
OSA berdampak amat luas, selain pada kesehatan, OSA juga berkaitan erat dengan hubungan sosial dan kondisi perekonomian seseorang. Bayangkan beban ekonomi seseorang yang harus berulang kali ke dokter atau dirawat di rumah sakit akibat hipertensi, gangguan jantung, diabetes hingga stroke yang harusnya dapat diperingan jika saja OSA-nya dirawat. Tak heran, jika asuransi di negara-negara maju memilih untuk mengganti semua biaya pemeriksaan dan perawatan OSA.
Penderita OSA, sering kali kita dapati dalam kondisi emosional yang labil hingga rentan untuk terkena depresi. Ini dipicu oleh ‘kondisi kurang tidur’ yang dideritanya. Sementara itu, penggunaan CPAP sebagai terapi terbukti memperbaiki status emosional dan gejala-gejala depresi yang terdapat pada penderita OSA.
Secara ekonomi, OSA juga amat memberatkan penderitanya. Ini disebabkan oleh berbagai penyakit yang berkaitan dengan OSA, terutama hipertensi dan penyakit-penyakit kardiovaskuler lainnya.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penderita OSA, dalam waktu 10 tahun sebelum terdiagnosa, membutuhkan berbagai pelayanan kesehatan hingga dua kali lipat dibanding yang tidak menderita OSA. Sementara, penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa penderita OSA mengalami rawat inap di rumah sakit hingga dua kali lebih lama dibanding yang tidak. Akibatnya pasien pun harus mengeluarkan biaya hingga dua kali lipat. Sedangkan, setelah dirawat, pengeluaran untuk perawatan kesehatan berkurang hingga setengahnya.
Penelitian lainnya menunjukkan manfaat penggunaan CPAP pada penderita OSA. Dalam dua tahun sebelum perawatan dengan CPAP, pasien OSA memerlukan 413 hari perawatan di RS, selanjutnya ia hanya dirawat 54 hari di RS dalam dua tahun setelah menggunakan CPAP. Sementara pasien yang tidak menggunakan CPAP justru mengalami peningkatan jumlah rawat inap di RS, dari 137 hari sebelum perawatan menjadi 188 hari setelah perawatan.